Sabtu, 17 Maret 2012

Renjana

Aku berangkat ke kotamu pagi ini dengan kereta paling awal, diantar hawa dingin dan kabut bulan Maret yang menusuk tulang. Mungkin kau tak mengira bertahun-tahun setelah kita tak lagi menghabiskan waktu bersama aku selalu melakukan perbuatan tolol ini: mencarimu di kota yang tak lagi kau tinggali.

Ataukah kau sudah menduganya, dan membayangkan dari kejauhan seluruh ketololan yang kulakukan ini, menertawai masa lalumu bersama seorang lelaki yang tak pernah bisa lepas dari kenangan?

Menjelang berangkat aku bangun sebelum cahaya kemerahan merekah di timur. Kubuka jendela kamar agar angin pagi menyegarkan ruangan kamar dan menahan mataku dari serangan kantuk. Kegelapan yang perlahan menghilang di luar rumah sungguh menggetarkan. Aku seolah terkurung dua makhluk mengerikan, di depan dan di belakang. Telinga dan benakku masih memperdengarkan gemuruh teriakan-teriakan demonstrasi, rentetan tembakan dari senapan tentara, dan tubuh teman-temanku yang roboh oleh peluru karet atau peluru sungguhan. Mungkin aku masih mengalami halusinasi berkepanjangan akibat peristiwa tiga belas tahun lalu itu.

Untuk menutupi rasa pedih kehilanganmu dan teror masa lalu itu, kunyanyikan lagu masa kanak-kanakku, ”Di Timur Matahari”. Di sekolah dasar, aku sangat menyukai lagu itu. Lima belas tahun kemudian aku dan teman-temanku kembali menyanyikannya setiap kali kami berdemonstrasi di bawah ancaman moncong senjata. Ingatkah engkau kalau di masa-masa awal demonstrasi itu kita bertemu, saat orang-orang berseragam itu menghalau demonstran dan kau yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampus hampir saja dipukul oleh mereka? Lengan kananku memar akibat menangkis pemukul mereka. Sedangkan kau, yang terus gemetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun, membiarkan tubuhmu terseret tangan kiriku yang mencari jalan di tengah kekacauan itu. Tak kusangka kalau ternyata dirimulah orang yang gantian menyelamatkan aku ketika kaki tangan penguasa tua itu hendak menghabisiku lewat daftar mahasiswa yang harus diamankan begitu demonstrasi tak bisa lagi dikendalikan oleh ancaman senapan.

Kau akan bangkit dari ilusimu, Sayangku. Semuanya telah selesai. Tak ada lagi orang yang akan menculikmu. Aku ingin kembali mendengarmu bercerita tentang film-film yang kau tonton atau melihatmu berlatih menulis skenario film. Paling tidak kita bisa menyusuri pantai di sore hari sampai lewat senja. Bukankah di pantai itu kau sering berkata bahwa esok, begitu matahari terbit, kau akan berjalan ke timur menyambut matahari baru?

***

Gerbong kereta ini memang membawaku ke arah timur, namun bukan menyongsong matahari. Ia menyongsong kotamu–ataukah menyongsong masa laluku? Di kereta aku benar-benar merasa menjadi orang lain. Sebagian di antara mereka adalah para pekerja kantor dan mahasiswa; hanya satu-dua yang berpakaian lusuh. Sementara aku, dengan celana jeans dan berkaus, memeluk tas ransel, tenggelam dalam pemandangan sawah di sebelah kiriku, deretan rumah-rumah penduduk yang berlarian ke belakang, gunung yang tak pernah bergeser dari tempatnya, dan kabut misterius yang menyelimutinya.

Di tengah deretan penumpang anonim ini, sering kubayangkan dirimu terselip di sebuah bangku di sudut dekat sambungan gerbong, menatap kabut pagi yang masih mengambang dan bayangan gunung berwarna biru kelabu. Kau menatapku terkejut, sementara aku segera menyongsongmu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol: Kenapa kau sendirian saja di situ? Ke mana saja kau selama ini? Apakah kau juga akan pulang kembali ke kotamu? Kenapa kau tak memanggil dan memintaku duduk di sampingmu? Bukankah setiap kita melakukan perjalanan dengan kereta kau selalu memintaku bercerita tentang rapat-rapat rahasia, para pengkhianat yang menukar perjuangan teman-temanku dengan keselamatan nyawa mereka, orang-orang yang selalu membuntuti ke mana aku pergi, dan kenapa kita bisa saling jatuh cinta sebegitu dahsyatnya di tengah ketidakmenentuan itu?

Semua ketololan ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pengkhayal yang tak lagi memercayai hari esok. Bagaimana tidak, dalam satu tahun hampir setiap bulan aku melakukan perjalanan bolak-balik selama dua setengah jam, hanya untuk mencari sesuatu yang tak bisa kutemukan sampai kapan pun.

***

Apakah aku harus berbohong pada diriku sendiri bahwa aku tak bisa melupakanmu, bahwa bayanganmu selalu mengikuti setiap adegan dalam film yang kutonton, bahwa tatapan matamu yang teduh bermain di antara halaman buku yang sedang kubaca? Bertahun-tahun setelah kau pergi, setelah demonstrasi mahasiswa yang heroik itu telah berlalu, setelah kusaksikan tumbangnya harapan-harapanku pada negeri ini, aku berpikir bagaimana akan kutulis skenario film tentang perjalanan kereta sepanjang dua setengah jam ini, kegelisahanku di dalam gerbong kereta dan para penumpang yang masih diterkam hawa kantuk luar biasa sekalipun tubuh mereka telah bersih dan wangi.

Sungguh, aku membayangkannya sebagai sebuah film dengan bagian awal seorang laki-laki yang berlarian tergesa ke loket stasiun karena kereta hampir berangkat. Kakinya hampir terpeleset ketika memasuki gerbong yang mulai bergerak perlahan. Perjalanan demi perjalanan tanpa suara. Hanya gerakan mata, langkah kaki, dan lanskap-lanskap yang berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Begitu turun dari kereta dan menjejakkan kaki di stasiun kotamu, mata lelaki itu akan bergerak memutari seluruh stasiun, menatap ratusan orang yang bergegas ke pintu keluar, para petugas kereta api yang sibuk, para calon penumpang yang sedang menunggu pemberangkatan dan para pengemis yang mulai berkeliaran di antara para penumpang.

***

Kau tentu belum lupa undak-undakan yang biasanya dilewati para penumpang begitu turun dari kereta itu bukan? Di situlah terakhir kali kita duduk berdua dengan tubuh berimpitan pada suatu sore, satu tahun setelah aku keluar dari klinik rehabilitasi jiwa, ketika suara-suara mengancam dalam benakku mulai mereda. Rasa-rasanya saat itu kita sedang memainkan adegan film menyedihkan senja itu. Seorang perempuan dengan mata bening dan pipi cembung, mulut kecil dan bibir tipis, tengah berada di simpang jalan perpisahan dengan seorang lelaki bodoh yang telah kehilangan banyak harapan pada kehidupan yang diarunginya. Aku membelai rambutmu yang panjang, menghapus air matamu dengan penuh kelembutan, sampai-sampai tak sadar bahwa kita telah menjadi tontonan orang-orang di dalam stasiun.

”Setelah ini mungkin kita tak bisa lagi bertemu. Ayahku tak pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan bersama teman- temanmu. Ia menganggap dirimu dan teman-temanmu adalah perusuh dan generasi tak tahu diri,” katamu sembari memandang lekat ke dalam kedua biji mataku.

”Kau tak mau mengambil pilihan lain?”

”Aku tak bisa meninggalkan ayahku. Kalau aku memilihmu, dia akan mengambil pilihan yang mungkin membuatku menyesal seumur hidup,” ujarmu dengan tenggorokan turun-naik.

Kini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu lewat, aku tak bisa membedakan apakah kita sedang berpura-pura memerankan sebuah adegan menyedihkan dalam film ataukah tengah mengalami sesuatu yang benar-benar nyata, sebuah mimpi buruk yang tengah bersiap menerkam kedamaian hidupku. Warna langit sore begitu lembut, dan angin tajam yang menyisir kulitku saat itu seperti mengiris kenyataan pahit dan menghidangkannya padaku. Apakah hidup harus sepahit dan sesunyi ini? Masih kuingat jelas pesan ayahmu lewat telepon genggamku yang ia kirimkan tanpa sepengetahuanmu. ’Aku tak sudi memiliki menantu pemberontak dan berjiwa rusak sepertimu. Jauhi anakku, tak layak keluarga kami memiliki menantu yang mengidap sakit jiwa sepertimu!’

Dan kau, di ujung percakapan di undak-undakan lantai stasiun itu, memelukku untuk terakhir kalinya, sebelum kereta berangkat ke kotaku. ”Aku juga berlaku bodoh karena mencintaimu,” katamu.

***

Kini, begitu kakiku telah menyentuh stasiun kereta di kotamu, semua peristiwa yang mengikat kita berdua di masa lalu seperti hadir kembali dengan warna yang baru. Keluar dari stasiun kereta, aku menatap wajah kotamu yang sangat sibuk, ragu apakah harus berjalan kaki atau naik bis kota. ”Kau selalu tak bisa menikmati waktu setiap naik bis kota. Lebih baik jalan kaki daripada melihatmu selalu resah di dalam bis,” katamu setiap kali kita turun dari kereta dan akan naik bis.

Ingatan akan ucapanmu itu membuatku berjalan kaki menyusuri trotoar jalanan. Langkah kakiku terhenti di benteng tua yang selalu kita singgahi setiap kali mengantarmu pulang ke rumah. Di salah satu ruangan benteng itu, di bagian yang paling gelap, aku pernah berteriak seperti orang gila menyebutkan namamu. Kau tertawa dalam kegelapan dan aku menikmati sensasi tawamu. Mataku benar-benar tak bisa melihatmu ketika tiba-tiba dari balik kegelapan kau memelukku erat-erat dan membisikkan kata-kata yang menenteramkan hatiku.

Untuk inikah aku melakukan perjalanan tolol yang tak pernah kau ketahui? Lihatlah taman kota yang penuh pohon beringin itu, undak-undakan yang ada di tengahnya, rumput hijau yang menutupi tanahnya, dan sinar matahari yang menyirami rerumputan dan seluruh pepohonan rindangnya. Ada sebuah bangku kecil dari kayu di tengah taman kota itu, tempat kita duduk dan menghabiskan sore hari ketika anak-anak kecil banyak berkeliaran di sini. Pernah kau bertanya padaku apakah aku akan suka punya banyak anak, dan aku menggelengkan kepala keras-keras.

”Aku tak mau diributi oleh teriakan dan tangisan mereka. Aku hanya ingin satu anak perempuan yang manis, berambut ikal dan berpipi cembung sepertimu!”

”Kau bodoh. Punya anak banyak sangat menyenangkan. Aku akan melahirkan banyak anak nanti, biar kau tak sempat menonton film atau membaca buku!” katamu sambil tertawa.

Taman kota ini, seperti halnya benteng tua, bioskop besar di pusat kota yang selalu kumaki karena kegelapannya menakutkanku, gedung kampus dengan bangunan tinggi yang tersebar seperti raksasa-raksasa bisu pada malam hari, dan sebuah kedai kopi yang tutup sampai larut malam di pinggiran kotamu, masih menyimpan aroma kayu putih dan bedak bayi yang sering kau pakai. Bahkan ketika kusentuh bangku kayu kecil di taman ini, perasaan melayang yang sama dengan mengisap aroma kayu putih di lehermu itu masih jelas dalam benakku. Aku selalu kehilangan diriku di saat seperti itu, melebur dalam sesuatu yang tak kupahami, sesuatu yang luas dan tak bisa kukendalikan. Hanya suara lirihmu, serupa rintihan lembut di ujung senja ketika aku masih kanak-kanak dan ibuku menyuruhku pulang ke rumah, yang menghadirkan diriku kembali ke dunia dan mendapati kau tengah menatapku dengan tatapan asing.

”Kau masih seperti anak kecil, bodoh,” katamu dengan senyum berbinar.

Sampai di depan bekas rumahmu, getaran perih itu tak pernah berkurang sedikit pun. Setelah bertahun-tahun kau tak di situ, tak ada yang berubah dari rumah itu. Sebuah rumah tua, dengan pintu kayu berukir, jendela-jendela panjang dan agak tinggi dengan jeruji kayu di baliknya, beranda dengan hiasan lampu tua, dan pagar kayu yang mengelilinginya. Sebuah taman kecil, penuh anggrek yang tertempel di pohon mangga serta kembang sepatu merah masih terpelihara dengan baik.

Kemurungan ganjil mengalir tak terbendung dalam diriku, melahirkan rasa sesal tak berkesudahan. Apakah manusia bisa terlepas dari kenangan? Apakah orang yang terjerumus dalam kenangan tak akan mampu memiliki impian tentang masa depan yang terbebas dari masa lalunya? Lalu untuk apa aku harus menjalani hari-hari seperti ini? Sepanjang perjalanan pulang kembali, aku selalu memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Sumber

Minggu, 11 Maret 2012

KETIKA HATI HARUS MEMILIH

oleh: Shavira Novi Safitri

Rasa bersalah dan penyesalan terhadapmu masih saja menghantuiku. Sedetikpun aku tak kuasa menghilangkan bayangan-bayanganmu, dan itu sangat menggangguku. Mungkin inilah karma yang aku dapatkan setelah aku melakukan kesalahan terbesar kepadamu. Kesalahan yang seharusnya tidak aku lakukan. Kesalahan yang merubah seluruh alur kehidupanku.
Yaaa, hidupku berubah sejak saat itu. Sejak aku menyadari aku telah mensia-siakan seseorang yang sangat mencintaiku. Tapi, inilah hidup dan aku harus terus menjalaninya walau seberat apapun. Aku harus terus berjalan.
*****

Aku Titania Putri. Siswi salah satu SMA terkenal di kotaku tercinta Malang. Kota yang sejuk dan terkenal dengan apelnya. Ada yang bilang juga, Malang adalah kotanya para pelajar. Kota yang damai dan sangat nyaman. Yaa, hidupku memang bisa di bilang sempurna menurut versiku, aku memiliki orang tua yang sangat mengerti aku, teman-teman yang baik, dan seorang kekasih yang sangat menyayangiku, Vino. Meskipun banyak teman yang bilang cowokku ini adalah cowok cupu, but I think he is a perfect boy. 
“ Morning, Princess ? Udah siap berangkat ? “ sapa Vino pagi itu, saat dia menjemputku untuk pergi ke sekolah bersama.
“ Morning too, My Price. “ balasku dengan senyuman tak kalah indahnya.
Setiap pagi aku di jemput oleh Vino untuk berangkat sekolah bersama, karena memang kita satu sekolah. Vino adalah cowok yang sangat pengertian dan sabar, dia selalu bisa membuatku merasa nyaman bila dekat dengannya, Vino juga sangat menyayangiku, aku tau itu, karena dia selalu berusaha menjagaku. Selama kurang lebih 1 tahun kami pacaran, kita jarang sekali bertengkar, jika memang aku lagi bĂȘte dia selalu bisa menghiburku, jika ada masalah dia juga selalu bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin, tidak seperti aku yang susah mengendalikan emosi. Dia juga pintar, di sekolah Vino adalah salah satu siswa yang cerdas. Kadang aku minder jika melihat dia bisa dengan mudahnya menyelesaikan soal yang aku anggap sangat sulit. Tapi sayangnya, banyak orang yang memandang Vino sangat cupu, mungkin karena dia memang tidak bergaul dengan orang-orang popular di sekolah, dia juga bukan cowok yang fashionable. Tapi, dia tetap yang terbaik buat aku.

*****
“ Tit, ntar malem dateng kan ke partynya Vega ? “ Tanya Anissa padaku saat aku baru saja masuk kelas.
“ Liat ntar ya, Niss. Aku gak tau soalnya Vino bisa apa gak. “
“ Sekali-sekali gak usah sama Vino gak papa kali, Tit. Lagian Vino juga gak mungkin bisa, kan di pikiran dia belajar melulu isinya. “
“ Iya kan emang itu yang lebih penting. Aku belajar bareng Vino ajalah, Niss. Maaf yaa. “
“ Ahh… Gak asik nih. Kamu sih, Tit. Pake pacaran sama si kutu buku itu. Ya udah deh terserah kamu. “ kata Anissa kesal
“ Maaf deh, Niss. Lain kali aku janji bakal ikut acara kamu deh. “
Anissa adalah sahabatku dari SMP. Dari kita kenal sampai saat ini kita baru sekali gak sependapat. Pendapat kita selalu beda tentang Vino, Anissa selalu menganggap aku salah memutuskan untuk jadian dengan Vino, karena menurut dia Vino itu kutu buku yang ngebosenin banget dan gaya dia juga sangat biasa aja. Tapi bagaimanapun Vino tetap yang teristimewa menurutku.
“ Tita, bagi PR matematikanya dong. Kamu pasti udah selese kan ? “ kata Anissa sambil nyengir kuda.
“ Yee… Dasar ! Baru aja sewot ke aku sekarang malah mau nyontek PR. Kalo aku yoo malu toh, Niss “ kataku pada Anissa, memang aku dengan Nissa gak bisa lama-lama sewot-sewotan gini. Hehehe :D
“ Hehehehe. Udah deh buruan, sepuluh menit lagi udah bell, aku tak buru-buru nyontek PR kamu “
Jam pertama hari ini adalah Matematika, satu dari seabrek pelajaran yang membuat kepalaku hampir pecah. Tapi untung saja aku punya cowok pinter, jadi setidaknya bebanku di beberapa mata pelajaran itu sedikit berkurang sejak aku jalan dengannya. Baru kali ini aku pacaran dengan seseorang dan dia bisa bikin nilai aku terangkat. Sambil menyelam minum air lah, ya pacaran, ya belajar. Bisa ngirit juga, karena gak perlu bayar guru private lagi. Hehehehe :p

*****
Malam ini Vino datang ke rumahku. Karena aku besok ada ulangan fisika, dia sengaja aku ajak belajar bersama. Meskipun kita sebenernya gak satu kelas sih. Selama pacaran dengan dia memang acara nge-date kita selalu identik dengan belajar bareng, beda banget sama yang lain.
“ Sayang, hafalin dulu dong Hukum-hukum newtonnya. Kalo kamunya hafal, soal-soal ini pasti gampang kok. “
“ Iya-iya. “
“ Kalo kamu gak hafal soal-soal itu gak bakalan bisa kamu kerjain, karena dasarnya ada di situ. “ kata Vino bak seorang guru.
“ Iya-ya, bawel “ jawabku sedikit sewot.
“ Sayang. “
“ Apa lagi sih ? Katanya di suruh ngafalin, tapi kamunya ganggu terus. “
Saat aku menoleh ke arahnya, ku lihat Vino menatap mataku tajam. Jujur, aku sampai berkeringat di tatap seperti itu. Selama kita jalan, baru kali ini Vino memandangku seperti itu, apa ada yang salah dari aku ? Aku rasa tidak. Wajahnya semakin mendekat ke wajahku, apa dia akan… Ahh, aku tak tau, yang jelas saat ini aku gugup sekali. Semakin lama wajah Vino semakin mendekat, dan…
“ Love You, Tita. I will always love you. “
Haaa…. Rasanya aku pengen teriak sekenceng-kencengnya. Dasar Vino, aku udah hampir pingsan di tatap seperti itu, ternyata dia cuma nyium keningku dan ngomong gitu. Huft
But, I’m soo happy, cara dia kali ini romantis banget menurutku, baru kali ini Vino seperti itu padaku. Karena emang dasarnya dia bukan cowok romantis, jadi dengan seperti itu saja udah luar biasa banget. Hehehehehe :D
“ Love you too, Honey. I believe you. “ balasku padanya setelah terbengong-bengong sebentar.
“ Udah deh lanjut lagi hafalanya. “
Malam ini lumayan istimewa buat aku, Vino udah lumayan romantic. Hehehehehe
Emang norak sih, tapi memang baru kali ini Vino seperti itu, jadi wajarkan kalo aku ngerasa itu istimewa. Tatapan dia tapi indah banget, keliatan banget ketulusan dia saat itu. Jujur, itu membuat aku semakin sayang sama dia. 

*****
“ Sayaaang, aku lolos. “ kata Vino mengagetkanku seraya memelukku.
“ Lolos apa sih, sayang ? “ aku benar-benar kaget saat itu, karena Vino tiba-tiba datang dan memelukku, gak biasanya dia seperti ini. Lebih-lebih kalo di sekolah.
“ Aku masuk nominasi siswa yang mau dapet beasiswa kuliah di Oxford Univesity. Itu udah aku cita-citain dari dulu, sayang. “
“ Serius ? Selamat ya sayang, aku ikut seneng. “
“ Makasih ya, sayang. Tapi, aku harus lolos satu seleksi lagi buat bisa bener-bener dapetin beasiswa itu. Harus makin serius belajar nih, sayang. “
“ Iya aku tau, aku dukung kamu terus kok, sayang. Ehh, pulang yuk. Keburu ujan nih. “
Kamipun berjalan menuju parkiran. Hari ini senyum Vino tak pernah hilang, aku tau hari ini sangat istimewa buat dia. Tinggal selangkah lagi dia dapetin beasiswa impian itu, setelah bergelut dengan ribuan pelajar yang mengikuti seleksi dari awal. Aku turut senang mendengar kabar itu, walau secara gak langsung ini jelas akan sangat mengurangi waktuku dengan dia. Karena Vino pasti akan lebih banyak menyisihkan waktu untuk belajar, dan aku hanya bisa mendukung Vino untuk hal ini.

*****
Vino udah gak bisa sesering dulu nemenin aku. Karena dia lagi sibuk belajar untuk test lanjutan itu. Sms-an pun sepertinya susah, jika aku sms hanya sekali atau dua kali dia membalas, setelah itu selesai. Aku jadi merasa jauh dengan dia, tidak seperti dulu lagi. Kadang aku kangen saat-saat seperti dulu, saat kita bisa belajar bareng, tapi sekarang dia sudah terlalu sibuk. Weekend kali ini juga jadi garing banget, malem minggu yang biasanya di temenin Vino, sekarang jadi acara galau-galauan di dalem kamar sambil ngedengerin music. Bosen di rumah aku coba sms-in Anissa, sapa tau dia bisa nemenin aku.

To : Nissa
Non, ngpain ?
bsen nih d ruma…

Tak beberapa Nissa membalas pesanku.

From : Nissa
Kagak ngpa*.in non…
K.spi.an yaa ? :p
Ehh, bsok ikut ak yokk, ke Matos cari sesuatu…
:D

Kali ini aku langsung meng-iya-kan ajakan dari Nissa, karena memang besok aku gak ada acara. Aku gak ngarep Vino bakal ngajak aku jalan, karena dia terlalu sibuk dengan belajarnya dan seakan lupa denganku. Jujur, sebenernya aku kangen sama Vino, kenapa dia seakan lupa sama aku. Semoga saja dia hanya terlalu sibuk belajar dan setelah test dia akan kembali seperti dulu. 

*****
Udah hampir 2 jam aku muter-muter Matos dengan Nissa siang ini. Kaki aku rasanya udah keriting, tapi Nissa sampai sekarang belum juga nemu barang yang di cari.
“ Niss, kamu nyari apaan sih ? 2 jam kita ini muter-muter disini, aku kesel non. “
“ Yee, kamu kan uda lama gak nemenin aku, baru segini aja udah ngamuk. Huuu… “
“ Kaki aku uda pegel nih. “
“ Yaweslah, nongkrong di kafe depan aja ya ? Sambil nunggu temenku yang lain. “
Legaaa. Akhirnya bisa duduk juga setelah lama muter-muter nemenin si Nissa. Hari cuaca lumayan panas, keadaan disini juga cukup ramai. Mungkin orang-orang pada mikir kalo sekarang ini adalah saat yang tepat untuk keluar rumah, karena memang akhir-akhir ini Malang selalu diguyur hujan.
“ Tita, kenalin nih temen aku, Rendy. “ kata Nissa membuyarkan lamunanku, aku baru sadar kalo ternyata ada orang yang datang.
“ Ohh, iya. Aku Tita.” Aku menerima jabatan tangan Rendy, aku baru tau kalo di Nissa punya temen cakep. Rendy cool banget. Hehehehehehe :p
“ Ren, ini nih Tita. Sahabat aku dari SMP yang sering aku certain ke kamu. “
“ Ohh, iyaa. “ jawab Rendy singkat.
“ Rendy ini kakak kelas aku waktu SD dulu, Tit. Dia juga tetangga aku, tapi pas SMP dia pindah ke Bali ngikut ortunya. Sekarang lagi kuliah di UB. “ Nissa nyerocos aja tuh ngenalin si Rendy ke aku, kalo gini gayanya udah kaya sales kosmetik. Aku Cuma bisa ber” Ho-oh “ ria. Hehehehehe :D
“ Ehh, aku ke toilet dulu ya ? Ren, jagain Tita, jangan sampe kabur. “ kata Nissa sambil nyengir, dasar tuh bocah,emang aku kucinng apa harus dijagain biar gak kabur.
“ Btw, Tita rumanya dimana sih ? “
“ Rumah aku ada di Jln. Duku. Kamu sendiri ? Nge-kost disini ? “
“ Iya, aku nge-kost dideket kampus, kapan-kapan aku boleh ya main ke rumah kamu ? “
“ Boleh kok. “ kataku sambil tersenyum.
Obrolan kami terus mengalir, ternyata Rendy anaknya bener-bener asik. Kita baru kenal beberapa jam aja udah bisa ngobrol selancar ini dan nyambung banget. Dianya cakep juga lagi. Hehehehe :D. Tapi, ini hanya sekedar mengagumi saja, gimanapun aku tetep sayang sama Vino, kekasihku yang kini sedang tenggelam dalam keseriusannya mengejar cita-cita.
“ Tit, Ren, pulang yuk ? Udah sore nih. “ ajak Nissa setelah kembali dari toilet.
Aku hanya mengangguk meng-iya-kan. Tapi sebelum pulang aku sudah sempat bertukar nomer hp dengan Rendy. Mungkin untuk akhir-akhir ini Rendy bisa menemaniku saat Vino sedang sibuk.

*****
Malam ini lagi-lagi aku sendirian di kamar, hanya di temani dengan alunan lagu Dan Tak Mungkin dari Agnes Monica. Saat lagi asik dengerin musik tiba-tiba handphoneku berbunyi, aku kira itu pesan dari Vino, tapi ternyata bukan itu Rendy.

From : Rendy
Malem Titaaa
:D

Aku segera membalas pesan dari Rendy, malam ini aku lebih beruntung rupanya, karena Rendy bisa menemaniku walau hanya lewat sms. Sampai sekitar jam 10 malam kita sms-an. Rendy ngajakin aku jalan ber-dua. Sebenernya aku ingin menolak karena takut melukai Vino jika dia tau aku jalan sama cowok lain. Tapi, aku gak bisa nolak ajakan dari Rendy karena memang sejujurnya aku pengen banget jalan-jalan. Akhirnya aku meng-iya-kan ajakan dari Rendy.

*****
Malam itu datang Rendy menjemptku ke rumah tepat pukul 7 malam, aku tak tau dia akan mengajakku kemana, kata dia sih Cuma ke suatu tempat yang indah. Di sepanjang perjalanan aku hanya bisa menebak-nebak aku akan di ajak kemana oleh Rendy. Gak berapa lama kita sampai ke tempat yang di tuju. Sumpah, tempat ini indah banget. Meskipun masih di Malang, tapi aku belum pernah mengunjungi tempat ini. Kata Rendy sih, tempat ini namanya Bukit Bintang. Pastas orang menyebutnya seperti itu karena kita memang serasa dekat sekali dengan bintang kalau berada disana.
“ Tita. “
“ Apa, Ren ? “
“ Kamu cantik hari ini, makasih ya udah mau nemenin aku kesini. “
“ Seharusnya aku yang bilang makasih, karena kamu udah bikin aku seneng hari ini, Ren. “ balasku sambil tersenyum.

*****
Semakin lama aku semakin dekat dengan Rendy, sekarang aku lebih sering ketemu dan sms-an dengan Rendy daripada dengan Vino. Aku juga merasa semakin jauh dengan Vino, padahal sekarang Vino sudah tidak lagi sibuk dengan belajarnya. Jujur, Rendy memang cowok yang asik, dia sangat berbeda dengan Vino. Perasaanku mulai goyah terhadap Vino. Dan sepertinya dia merasakan perubahanku itu.
Malam ini, aku jalan lagi sama Rendy. Ke Bukit Bintang, tempat favorit kita.
“ Tita, boleh aku ngmong sesuatu ? “
“ Ngomong aja, Ren. “
“ Tit, kamu mau gak jadi cewekku ? “
Jleb ! Aku gak percaya Rendy berani nembak aku, padahal dia tau kalo aku masih jalan sama Vino.
“ Aku tau Tita kalo kamu masih punya Vino, tapi jujur, aku gak bisa nutupin perasaan ini. Dari awal kita ketemu aku udah suka sama kamu. Mungkin ini konyol, tapi aku rela kok jadi yang kedua. “
Kata-kata Rendy barusan bener-bener buat aku shock, aku gak nyangka kalo dia bisa ngomong kayak gitu.
“ Ren, kalo aku boleh jujur, sebenarnya aku juga sayangsama kamu. Tapi aku bingung, aku masih punya Vino, dan aku susah buat mutusin dia karena dia memang gak ada salah. Apa kamu bener-bener gak papa jadi yang kedua ? “
“ Apapun aku rela, Tit. Asal aku bisa sama kamu. “
Handphoneku bordering, saat kulihat ternyata itu dari Vino. Degup jantung semakin kencang saja, aku mengangkat telfon Vino.
“ Sayang, sepuluh menit lagi aku sampai di rumah kamu. Aku mau ngajak kamu jalan, maaf ngedadak karena aku mau ngasih surprise. “
Aku tak dapat berkata apa-apa, aku bingung karena aku sayang keduanya.
“ Sayang, halo ? Tita sayang, kamu gak papa kan ? “
Klik ! Aku memutus telfon dari Vino dan segera mengirim sebuah sms.

To : ..maii hunbie..
Vino, maafin ak…
Km gak lbih baik plg nd gak usah jmput aku…
Makasih buat selama ini.

Saat aku mengirim pesan itu rasa hatiku sungguh berkecamuk. Aku harus memilih salah satu dari mereka. Aku memang harus membuat luka pada salah satu dari mereka, tapi inilah keputusanku. Aku memilih Rendy, dia yang selalu menemaniku selama ini.
“ Ren, sekarang aku cuma milik kamu. “ ucapku sambil tersenyum pada Rendy.
“ Makasih, sayang. Aku janji bakal selalu jaga kamu. “
Tak berapa lama handphoneku kembali berbunyi, tapi sama sekali tak ku hiraukan. Aku yakin itu pasti Vino. Aku sengaja mengabaikannya agar aku tak lagi goyah dengan keputusanku. Aku takut aku akan kembali bimbang jika memdengar suara Vino lagi. Namun, handphoneku tak berhenti berdering, dan akhirnya aku mencoba melihat sapa yang menghubungiku, ternyata Anissa.
“ Tita, kamu dimana ? Vino kecelakaan, buruan ke rumah sakit. Kondisi dia parah banget. “
Aku segera mengajak Rendy ke Rumah Sakit. Perasaanku saat ini sangat kacau. Aku merasa sangat bersalah pada Vino, gak seharusnya aku mengatakan hal seperti tadi itu saat dia sedang mengendarai motor. Kenapa aku tadi gak mikir akibatnya sampai sejauh ini. Aku tak sanggup membendung air mataku.
Saat aku sampai di Rumah Sakit, aku melihat Anissa dan keluarga Vino, teman-teman satu kelasnya juga ada disana. Aku merasa sangat bodoh karena tak memikirkan apa yang terjadi akibat keputusanku tadi.
Tak berapa lama seorang Dokter keluar dari ruangan tempat Vino di rawat. Orang tua Vino segara menghampirinya.
“ Dok, bagaimana anak saya ? Dia baik-baik saja kan ? “
“ Benturan yang terjadi di kepalanya sangat parah. Dan kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Maaf, anak ibu tak bisa kami selamatkan, “
Kata-kata dokter barusan benar-benar seperti sambaran petir bagiku. Aku tak percaya dengan ini semua, aku telah membuat Vino menjadi seperti ini. Aku merasa ini semua salahku, aku merasa sangat bersalah, aku bodoh, dan aku sangat jahat pada Vino.
Sebuah sms masuk ke handphoneku, dari Vino. Balasan dari sms yang aku kirim tadi, pesan yang dia tulis sebelum kecelakaan itu terjadi yang sempat pending dan baru baru terkirim sekarang.

From : ..maii hunbie..
Sayang, ak tau ak mmang bkan cow xg smprna nd baik buat km..
Ak tau ak gak bsa buat km snenk, ak jga bkan cow xg gaul, ak gak prnah bsa bkin kmu
snenk, nd ak jga sngat mmbosankan..
Ak sdar itu, Tita..
Ak hrgai k.ptus.an km ini, ak jga mngrti bhwa km tlah mnmukan cow xg lbih baik dr ak
untk nmnin km..
Tpi Tita, mskpun km sekarang bukan milikku lagi ak akan slalu mencintai kmu..
Hati ini Cuma km xg memiliki, ak yakin suatu saat nanti ak akan dapat mmlikimu lagi, walau itu di alam xg berbeda, ak akan selalu mnunggu. 
Love U Tita…

Pesan ini benar-benar membuatku sesak, aku sangat bodoh karena aku telah menyia-nyiakan seseorang yang telah sangat tulus mencintai aku. Aku benar-benar menjadi cewek yang sangat beruntung telah mendapat cinta tulus dari Vino, tapi apa yang aku lakukan. Aku membuat dia sakit hati dan akhirnya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya, yang merenggut semua cita-cita dia. Aku tak kuasa menghadapi semua kenyataan ini, kenyataan bahwa Vino sangat tulus mencintaiku dan aku telah menyakiti dia. Dalam sekejap semua terasa gelap dan menghilang…

*****
Di hadapanku sekarang, segunduk tanah dan batu nisan bertuliskan nama Malvino Putra Pratama. Aku masih menatapnya dalam-dalam, tak percaya bahwa dia sudah benar-benar tiada. Vino telah pergi dengan sebuah luka. Luka yang aku sayatkan dengan begitu dalam. Luka yang aku berikan kepada dia yang sangat mencintaiku. Aku sangat menyesal saat ini, tak seharusnya aku mengambil keputusan itu. Seharusnya aku tau bahwa Vino memang yang terbaik. Tapi, apalah arti sebuah penyesalan, jika semua sudah begini adanya. Aku tak tau apakah aku bisa memaafkan kebodohanku ini.
Sekarang tak ada yang bisa aku lakukan, semua sudah terlambat. Hanya tangis penyesalan yang terus terurai atas kepergian seseorang yang sebenarnya sangat aku cintai dan itu semua karena kesalahan terbodoh yang aku lakukan.
The End

DITINGGAL SOSOK IBU

Oleh: Siska Sudjatnika, S.E

Pagi itu saya terbangun melihat jam sudah menunjukkan pukul 06.00, “ aduh aku kesiangan untuk berangkat kerja”… (sambil menggaruk garuk kepala). Nene pun dari subuh sudah membangunkanku, aku langsung pergi ke kamar mandi untuk bersiap siap ke kantor.

Alahmdulillah, pagi itu nenek sudah menyiapkan aku sarapan.setiap pagi kita selalu berbincang bincang.

(Nene yang mengurus aku dari umurku 10 bulan, sampai aku lulus sarjana S1. Orang tua ku sudah berpisah, mama sudah menikah dan papa pun sudah menikah dengan mempunyai putra 1 dan putri 1.)

Setelah berbincang bincang, akupun berangkat ke kantor dengan menggunakan motor. Aku sibuk dengan pekerjaanku sampai akhirnya aku pulang kerja. Datang kerumah “mih, bukain pintunya”
Mamih pun membuka pintu. Aku senang masih bisa melihat senyum nya, aku pun ke kamar dan ganti baju.

Setiap hari rutinitas begitu, sampai pada akhirnya pada bulan puasa hamper mau lebaran 2011. Nene ku jatuh sakit “ mih, gmn sekarang keadaannya?” aku menghampiri nene sedang terbaring di tempat tidur.

“ mih dirawat yah di rumah sakit , biar cepet sembuh”, mamih pun menjawabnya dengan suara lirih” tidak mau, mamih pengen tetep di rumah”.

Aku sedih melihat nene terbaring ditempat tidur, ingin menangis hati ini!aku tetep kuat menghadapi semuanya, nene satu”nya yang aku anggap sebagai mama.

Suatu ketika malam hari nene akhirnya dibawa ke rumah sakit dia berkata “ sis, tolong jaga semuanya yah? Mamih mau pergi sebentar lagi mamih mau meninggal, jaga rumah baik- baik”.

Aku sedih mendengar hal itu, nene pun dibawa ke rumah sakit. Setelah 2 minggu kemudian, nene tiba di rumah. “ Alhamdulillah, akhrinya mamih sembuh” (berbicara dalam hati).

Setelah sembuh nene segera menyiapkan semua persiapan syukuran untuk berangkat haji,karena tanggal 10 oktober 2011 mamih berangkat. Tanggal 25 september 2011 pagi itu mamih sudah teriak teriak untuk diberesin “ sis, beresin beresin itu”.

Akupun menjawab” aduh mamih pagi- pagi udah riweuh, santai atuh.. masih lama juga”
Aku tidak menyangka kalau hari itu adalah hari terakhirku bertemu nene, aku menyiapkan semuanya termasuk makanan, karpet dll nya.

Acara pun dimulai, aku melihat mamih terlihat pucat.” Mih, udah makan belum?”aku menyapa nene.

“ nanti aja”dengan nada rendah neneku menjawabnya.

Syukuranpun berlangsung, selesailah pukul 13.00, kami pun semua keluaraga beristirahat. Dan anehnya nene ku ingin tidur di kamarku, tiba- tiba pukul 14.00 nene manggil aku. Aku tertidur di lantai ruang tamu.

Aku terbangun ”ada apa mih?” Aku kaget melihat mamih “mih kenapa kok badan mamih gemetaran begini” aku berkata sambil menangis.

Mamih menyampaikan sesuatu ”mamih mau sekarang meninggal, tolong jaga semuanya”

Aku berteriak ” Rian, Anda, Ramdan…. Tolongggggg Siska”.

Mereka pun dating dengan mata merah karena terbangun dari tidur ”ada apa teh?” kata Rian.

Aku hanya bias menangis melihat nene ku kritis. Melihatnya antara hidup dan mau menghembuskan nafas yang terakhirnya, semua keluargapun berkumpul termasuk pamanku. Semuanya menangis. Kita bersama – sama membantu nene untuk mengucapkan “ laailahaillah… laailahaillah…” seterusnya.. Akhirnya nene pun meninggal pukul 15.15 tepat Ashar tiba.

Itulah akhir dari semuanya, aku benar – benar kehilangan. Sosok ibu pun telah hilang. Setelah beberapa minggu kemudian, aku pun pindah rumah. Untuk menjadi seorang yang mandiri. Sampai hari ini, aku bisa menjadi seorang perempuan mandiri tanpa adanya sosok ibu.
***

@};- BY: Siska Sudjatnika, S.E
Tasikmalaya, 22 Februari 2012

RINDUKU KENANGANKU

oleh: Rica Okta Yunarweti

Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan aku gemar melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin penasaran.
“Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya mentari yang mulai redup.

* * *

Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut karena selalu pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
“Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu?
“Aku mencarimu! Kata Diana
“Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
“Entahlah…. Sudah dulu ya, bau banget nih.
“Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi…! Kesal Diana
Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut lepas.

* * *
Lintang segera membersihkan dirinya karena takut ibunya marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia merasakan sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak. Lintang bingung dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh dari kursi tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat tidur dan beristirahat.

* * *
Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi. Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam impian.
“Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang
“Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena tingkah mereka yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
“Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
“Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang kebingungan)
Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
“Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
“Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
“Aku sakit apa? Mana ayah?”
“Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu. Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,, biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren.”
“Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu..”
“Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
“Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
“Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti.”
“Iya, pasti. Suatu saat kita akn merayakan keberhasilan kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke sini. Bye !!”
“Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"

* * *
Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
“Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
“Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
“Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
“Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar. Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola ini..”
“Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik kesukaanku, dan aku… aku hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
“Thengs.. siapa namamu?”
“Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring lemah.
(Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya.
“Diana, kenapa kamu?”
“Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
“Kamu bohong, da masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini!”
“Ii..ia bu.”
“Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
“Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
“Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
“Ibu mau menjenguknya? “
“Iya,, nggak apa-apa kan?”
“I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa. Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan, walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti perasaan orang lain.
Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan. Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis biola itu.
“Hai, belum pulang?" Sapa Diana
“Hmmn. Belum Diana’
“Ngapain kamu sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
“Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
“Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
“Ohh, namamu Lizy ya?”
“Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
“Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
“Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih..” ajak Lizy
“Hhhhaha….” Sambung Diana

* * *
Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya. Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
“Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
“Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan suara datar sambil menunduk.
Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
“Bagaimana bisa kamu di sini Zy?”
“Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
“Sebenarnya, kamu sakit apa sih?” sambung Diana
“a..ku, sakit Leukimia..”
Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang langsung terdiam ketika ia memainkan dasinya..
“Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa”
“Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
“Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh.” Sambung bu Tari
( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang justru tidak mau kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan halyang sama dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
“Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
“Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
“Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang. Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
“walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
Suasana berubah menjadi hening kembali..
“Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
“Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang.
“Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
“Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
“ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
“Cepat sembuh, ya”……

* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.

Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku

Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya. Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang. Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….

3 hari kemudian…

Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan, peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap di atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil mengikik heran melihatnya.
Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya menandakan Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua tentang kita” sambil bernyanyi.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita

Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat duu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kitaberduka saat kita tertawa

Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
“Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu kamu, Lizy!”
“Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan, aku melihat seorang gadis sedang melukis.”
“waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian, kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga kagum atas sikapmu yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan lupakan persahabatan kita ini ya..”
“Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing. Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
“Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk di tikar.
“Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
“Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
“Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita.” Sebel Diana
“Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu. Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama cowok popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
“Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
“Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
“hhuuhh…”
Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.

* * *
Waktu yang tepat ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Diana laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu untuk menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka berikan pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang biasanya sibuk dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya.
Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya, Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang yang mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa harus membeli semua obat yang diperlukan.

* * *
Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak orang.
“Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari Deva)
“Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
“Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran. Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata. Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang tua Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva. Menganggap mereka sebagai anaknya.

* * *

“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_

Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva. Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka. Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang Kita” yang biasa mereka nyanyikan.

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati

Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi ketiganya. Orang tua Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Lintang tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga. Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca puisi.

Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan seperti sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri

“Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker karena fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Diana. Sambil melanjutkan lukisannya.
“Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
“Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akhirnya selesai”
“Waahh..keren.!”
Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan persahabatan ini yang terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya sekedar untuk mengenang Lintang.

SELESAI



Karya : Rica Okta Yunarweti
Alamat Fb : Richa Oktaa
e-mail : icaotana@yahoo.co.id