Hari ini tepatnya hari minggu, aku akan pergi jalan-jalan dengan sahabatku, Ifa. Dia teman satu kampus, satu jurusan dan satu kelas. Kami berdua sangat cocok, sehingga kami juga punya minat yang sama, yaitu bergabung dengan UKM music di kampus. Hobi kami sama, mendengarkan music dan bernyanyi, dan kami mencoba mengasah bakat yang kami punya melalui UKM ini.
“dadar guling….!” Begitulah Ifa memanggilku, karena namaku Dara, dia seenaknya memanggil namaku.
“ada apa Geje…!” karena kalau dia bicara jawa sangat fasih aku memanggilnya GJ atau gadis desa.
“kamu masih ingat dengan teman lamaku yang pernah aku ceritakan, Arif…?” Tanya Ifa kepadaku.
“emm, yang suka kamu bilang kaya Hengki Kurniawan kan…?” Jawabku sambil mataku menerawang ke atas.
“yup betul banget, nanti dia mau ke sini, ke kost kita” kata Ifa dan kelihatannya dia senang sekali.
“ oh ya, kamu senang donk”
“ iya Ra, nanti aku kenalin kamu sama dia”
“oke…!”
Beberapa jam kemudian Arif teman Ifa datang, akupun dikenalkan kepada Arif. Sekilas memang wajahnya mirip Hengki Kurniawan. Cowok itu tidak begitu tinggi, kulitnya hitam manis, lumayan cakep juga, apalagi dengan dia mengendarai motor kerennya.
“ini yang namanya dara, imut juga ternyata, Ifa sering lho cerita tentang kamu” kata Arif saat kami berjabatan tangan.
“oh gitu ya” ujarku
Aku, Ifa dan Arif berbincang-bincang lama di teras depan kos. Akupun merasa cocok bila berbicara dengan Arif, jarang-jarang aku bisa akrab dengan orang yang baru saja aku kenal terlebih seorang cowok. Tak berapa lama Arif pun pamit pulang karena masih ada urusan lain.
Ifa pernah bercerita kalau Arif pernah patah hati gara-gara ceweknya memilih cowok lain, padahal mereka sudah menjalin hubungan selama empat tahun, sehingga dia memerlukan teman untuk menumpahkan semua isi hatinya dan berusaha untuk mengobati luka hatinya. Aku merasa simpati dengan keadaan Arif.
* * * * * * * * * * * * * * *
Sejak perkenalan aku dan Arif, kami jadi akrab, kami sering sms dan terkadang telefon. Setelah beberapa minggu kami akrab, aku merasa Arif ini tidak percaya diri dan sering minder,terkadang bila diajak Ifa bertemu dengan teman-teman kampus dia enggan. Padahal untuk cowok cakep seperti dia, pasti banyak yang mau berteman dengan dia.
Bertambah hari aku semakin akrab dengan Arif dan akupun merasa senang. Namun, semenjak aku dekat dengan Arif, Ifa jadi berubah. Aku tahu kalau Ifa menyukai Arif dari awal mereka bertemu, tapi apa salahnya bila aku akrab sama Arif. Seringkali saat aku dan Ifa bertemu arif, dan Arif lebih memperhatikan aku, Ifa kelihatan jengkel dan akhirnya dia tidak mau bicara denganku selama beberapa hari.
“Geje, kamu kenapa, kamu sakit atau kamu marah sama aku?” tanyaku saat setelah kami bertemu dengan Arif.
“tidak, ngapain aku harus marah sama kamu” jawab Ifa ketus tanpa melihat wajahku.
“ya udah kalau gitu, aku ke kamarku dulu ya…” kataku sambil keluar dari kamar Ifa.
Aku jadi merasa bersalah pada Ifa, banyak teman-teman yang bilang kalau Arif itu sukanya sama Ifa, tapi Arif tidak mau mengakuinya. Karena dulu mereka sangat akrab, sebelum dia mengenalkannya padaku dan teman yang lain. Aku mencoba bertanya pada teman sekamarku, Nay, yang juga teman Arif.
“dia itu cemburu sama kamu Dara, begitulah yang Lisa katakana kepadaku kemarin” jelas Nay
“tapi kan aku dan Arif tidak ada apa-apa, aku akrab dengannya layaknya aku akrab dengan teman cowokku yang lain” aku mencoba untuk membela diri.
“iya, itu kan menurut kamu tapi kalau Ifa. Tapi aku setuju sama kamu, toh kita semua menganggap Arif hanya sebagai teman saja” kata Nay dengan tegas.
“aku jadi serba salah, menjauhi Arif, nanti Arif ngambek, ngedeketin Arif, Ifa yang cemburu” ujarku smbil geleng-geleng kepala.
“udahlah yang penting kamu kan tidak menyukai Arif, tapi Ra, aku merasa Arif itu suka sama kamu” kata Nay sambil memandangku yang sedang bingung.
Mendengar kata-kata aku jadi tambah takut kalau-kalau Ifa marah-marah. Biarlah berjalan apa adanya, aku tidak akan menjauhi Arif dan aku akan menjaga perasaan Ifa. Namun, aku tidak menyangkal kalau dalam hatiku aku sedikit tertarik pada Arif. Cowok yang baik hati, santun, ramah, dan tidak sombong itu membuatku terpesona.
* * * * * * * * * * * * * * *
Sebagai teman aku ingin melihat Arif bisa menemukan rasa percaya dirinya kembali, memang perlu waktu, dan itu tidak mudah baginya, setelah luka yang telah ada dalam hatinya. Dia merasa dipermainkan dan tidak dihargai dengan apa yang telah dia korbankan selama ini terhadap ceweknya. Sehingga dia menemukan orang yang bisa mengerti keadaannya, yaitu Ifa.
Suatu hari Arif berkata kepadaku kalau Ifa sekarang jadi aneh sehingga dia malas untuk bertemu dengan Ifa. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap Ifa, ada yang disembunyikan. Arif juga merasa ada maksud sesuatu dibalik kebaikan Ifa. Aku berusaha untuk melarangnya supaya dia tidak menghindari Ifa, tapi laranganku tidak digubrisnya. Aku jadi tambah bersalah kepada Ifa, karena ada aku dia jadi jauh dengan Arif. Dan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Semenjak Arif merasa seperti itu, dia mencoba untuk jarang bertemu denganku dan Ifa untuk menjaga perasaan Ifa. Namun, aku dan Arif tetap saling berhubungan melalui telefon. Arif tidak pernah menanyakan bagaimana kabar Ifa. Terkadang bila aku sedang telefon Arif aku harus pergi menjauh dari Ifa. Aku jadi semakin merasa bersalah dengan apa yang aku lakukan, serasa aku menusuk temanku dari belakang. Tapi aku juga tidak bisa menghindari Arif. Sampai suatu hari Arif menyatakan perasaanya kepadaku.
“kenapa kau mengatakan itu kepadaku” kataku sewaktu aku dan Arif bertemu.
“memangnya kenapa, ada yang salah?” dia mencoba mencari penjelasan.
“kamu tahu apa yang akan terjadi bila kita jadian?”
“iya aku tahu, aku hanya ingin mengutarakan apa yang aku rasakan saja kepadamu” Arif mencoba ngeles.
“o…gitu ya, berarti kita nggak harus jadian kan?”
“ emm, berarti kamu juga suka ya sama aku” kata Arif menggodaku
Aku jadi salah tingkah mendengar ucapan Arif, memang aku sudah suka sama dia sejak kami akrab. Aku hanya diam tak bicara.
“aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku sama sekali tidak menyukai Ifa,dan aku tidak peduli itu. Apakah kita harus mengorbankan perasaan kita demi dia?”
Aku hanya diam dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya aku pulang tanpa memutuskan apa-apa. Yang ada dalam fikiranku hanya perasaan bersalah terhadap Ifa. Dalam fikiranku juga merasa kalau Arif tidak sungguh-sungguh dengan persaannya, karna aku tahu betapa dia masih trauma dengan apa yang terjadi dengannya.
* * * * * * * * * * * * * * *
Saat yang aku takutkanpun tiba, Ifa tahu hubungan aku dan Arif seperti apa, aku memutuskan untuk jadian dengan Arif tanpa sepengatuhan Ifa. Dan Ifa tahu setelah aku mengajak Arif nonton konser dan dia melihatnya. Sampai Ifa menjadi tidak mau makan dan sakit, dan itu karena Arif menghindarinya dan lebih dekat dengan aku. Dalam keadaan sakit Ifa mencoba menghubungi Arif untuk menemuinya, tapi Arif tidak mau menanggapinya. Aku berusaha menyuruhnya untuk menemui Ifa, tapi tetap tidak mau. Aku merasa Arif sangat egois, hanya untuk bertemu sekali saja dia tidak mau. Sejak saat itu Ifa sangat membenciku dan tidak mau bicara denganku lagi.
Akhirnya aku menemui Arif untuk membicarakan ini semua, mengajaknya bertemu di taman dekat kos.
“sebaiknya kita tidak perlu berhubungan lagi, karena ini adalah yang terbaik baik kita” kataku padanya.
“oh ya, apa ini yang terbaik, tidak bisakah kita cari jalan lain selain berpisah?” kata-kata Arif sangat kecewa.
“maafkan aku, aku tidak bisa melihat sahabatku sakit gara-gara aku, apa kata orang-orang nanti”
“oke bila memang ini jalannya aku akan melakukannya, aku juga tidak mengerti mengapa Ifa tidak mau menerima kenyataan ini”
“dia itu sangat terobsesi sama kau Rif, aku juga baru kali ini menemukan orang seperti itu”
“aku tidak tahu bagaimana jalan fikirannya, padahal aku sudah cukup lama mengenalnya” kata Arif sambil mengambil nafas panjang.
“jangankan kamu, aku yang sama-sama perempuan saja tidak mengerti”. tambahku
Akhirnya kami dengan berat hati mengakhiri hubungan kami, tapi kami tetap berhubungan melalui ponsel, walaupun kami tidak akan bertemu lagi. Sebenanarnya ini berat untukku, aku begitu menyukai Arif yang baik hati. Arif juga merasa ini berat, namun sebelum kami terlanjur jauh lebih baik seperti ini, daripada ada yang tersakiti. Terlebih menyakiti sahabat sendiri. Ini semua demi Ifa, aku tidak mau menyakiti hati Ifa hanya karena cowok, persahabatan itu lebih penting dari apapun.
Sabtu, 26 November 2011
Sabtu, 22 Oktober 2011
Persahabatan
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.
Cerpen Remaja (Mantan)
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa.
Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku.
“Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk?” tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku.
“Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih?” Hanny yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.
“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka.
“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”
“Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak.
Kami pun kemudian tertawa.
Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.
Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an.
“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?” Henny masih penasaran.
“Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka.
“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”
Tok... tok... tok....
Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.
“Tari, gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku.
“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.
“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah.” Hanny protes.
“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget!” Laras marah.
“Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”
Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka.
Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa.
Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya.
“Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”
“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.
Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***
“Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak?”
“Enggak ada. Memang ada apa?”
“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”
“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”
“Ya sudah. Berangkat, yuk.”
“Oke.”
RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu.
Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal.
Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.
“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.
Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.
Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku.
“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”
“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan.
“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.”
Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.
“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.
“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,” jawab Fikri, sekenanya.
Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang.
“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini,” jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.
Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu.”
“Masa, sih?”
“Bukannya iya?”
Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat.
***
Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”
Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini.
“Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras.”
“Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah besar.
Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia.
Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku.
“Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk?” tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku.
“Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih?” Hanny yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.
“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka.
“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”
“Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak.
Kami pun kemudian tertawa.
Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.
Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an.
“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?” Henny masih penasaran.
“Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka.
“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”
Tok... tok... tok....
Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.
“Tari, gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku.
“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.
“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah.” Hanny protes.
“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget!” Laras marah.
“Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”
Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka.
Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa.
Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya.
“Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”
“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.
“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”
“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.
“Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.
Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***
“Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak?”
“Enggak ada. Memang ada apa?”
“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”
“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”
“Ya sudah. Berangkat, yuk.”
“Oke.”
RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu.
Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal.
Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.
“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.
Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.
Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku.
“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”
“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan.
“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.”
Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.
“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.
“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,” jawab Fikri, sekenanya.
Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang.
“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini,” jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.
Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu.”
“Masa, sih?”
“Bukannya iya?”
Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat.
***
Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”
Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini.
“Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras.”
“Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah besar.
Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia.
Senin, 08 Agustus 2011
Cerita Aneh
Kendaraan Di Surga
Tiga pria meninggal dan masuk surga.
Surga mempunyai peraturan bahwa setiap orang baik jahat maupun orang baik akan mendapat kendaraan yang pantas dengan perbuatannya.
Lelaki pertama tiba dan malaikat bertanya, “Berapa tahun kamu menikah?”
Jawab lelaki pertama, “20 tahun.”
“Berapa kali kamu mengkhianati istrimu?”
Jawab lelaki pertama, “5 kali.”
“Baiklah,” jawab sang malaikat, “Kamu boleh masuk tapi hanya mendapat Kijang.”
Lelaki pertama pun berlalu dengan Kijangnya.
Berikutnya adalah lelaki kedua. “Berapa tahun kamu menikah?”
Jawab lelaki kedua, “30 tahun.”
“Berapa kali kamu mengkhianati istrimu?”
“2 kali.”
“Lumayan… Kamu pantas mendapatkan BMW.”
Tibalah kini lelaki ketiga dan malaikat pun mengajukan pertanyaan yang sama yang dijawab si lelaki ketiga, “50 tahun.”
“Berapa kali kamu mengkhianati istrimu?”
“Tidak pernah.”
“Luar biasa! Ini kunci untuk Ferrari.”
Suatu hari, tatkala lelaki pertama dan kedua tadi tengah mengendarai
mobilnya, mereka melihat lelaki ketiga duduk di tepi jalan sambil menangis.
Mereka menghampirinya dan bertanya “Ngapain kamu nangis? Ga’ puas sama Ferrari?”
Jawab lelaki ketiga sambil mengusap air matanya, “Tadi aku berpapasan dengan istriku yang sedang naik sepeda…”
Orang Berkaki Empat
Kakak: “Dik, coba tebak orang apa yang kakinya empat?”
Adik: “Orang lumpuh Kak…”
Kakak: “Salah…!”
Adik: “Orang aneh…”
Kakak: “Salah…!”
Adik: “Orang apa sich emangnya?”
Kakak: “Orang bilang sich kuda, kucing, anjing, dll.”
Adik: “Yeeeeeeeeeee…!”
Anak Yatim
Faqih: Eh… Bet! Mana kalimat yang benar?
A. Anak Yatim itu dipukuli ayahnya.
B. Anak yatim itu dipukulkan ayahnya.
Albert: Pasti . . . Anak yatim itu dipukuli ayahnya dong!!!
Faqih: Salah.
Albert: Apaan dong!!!
Faqih: Nggak ada yang bener, anak yatim mana punya ayah…
Albert: @#$%#@
Komentar Paijo
Paijo adalah seorang pesuruh di sebuah SMA swasta yang cukup terkenal. Suatu siang, Paijo melihat kerumunan puluhan murid dan beberapa guru di teras ruangan kelas pelajaran Fisika. Dari suara ributnya, mungkin ada kejadian luar biasa di situ. Paijo semula acuh tak acuh, namun akhirnya ia datang mendekat juga karena salah satu guru yang juga wakil kepala sekolah memanggilnya.
Setelah diusut, ternyata ada seorang siswa yang sehabis pelajaran olah raga menendang bola yang seharusnya dia bawa ke gudang. Sialnya bola tadi mengenai kaca jendela nako sampai hancur berantakan.
Dasar sekolah swasta yang sudah terbiasa berdemokrasi, tidak heran kalau guru-guru di situ memberikan komentar atas kejadian tadi. Lagi pula ini berhubungan dengan kurikulum baru yang berbasis kompetensi (KBK) di mana para siswa diharapkan tidak hanya tahu teori tapi juga harus tahu keadaan nyata dalam situasi apapun. Berikut ini adalah dialog dari beberapa guru yang ada di situ.
Wakil Kepala Sekolah: “Bagaimana pendapat atau komentar bapak-bapak guru tentang kejadian tadi ?”
Guru Fisika: “Gerakan bola tadi merupakan contoh dari gerak balistik atau gerak peluru.”
Guru Kimia: “Massa kaca sebelum dan sesudah pecah sama.”
Guru Matematika: “Lintasan bola tadi pasti merupakan kurva melengkung parabola.”
Wakil Kepala Sekolah: “Bagus sekali komentarnya. Bagaimana menurut pak Sugih?”
Pak Sugih yang guru ekonomi menjawab: “Untuk mengganti kaca yang pecah perlu biaya Rp 100.000 pak.”
Wakil Kepala Sekolah: “Itu tidak masalah, kita bisa minta ke orang tua siswa yang menendang bola tadi. Bagaimana menurut Pak Paijo ?”
Paijo kaget setengah mati karena tidak menyangka kalau akan dimintai pendapat atau komentar. Tapi untuk menjaga gengsi, lagi pula dia pernah ikut nguping waktu guru-guru ditatar KBK, Paijo memberikan komentar menurut disiplin ilmunya.
Paijo: “Kalau ditinjau dari disiplin ilmu saya pak, pecahan kaca tadi… eh… anu… menambah pekerjaan saya tapi tidak menaikkan gaji saya pak!”
Wakil Kepala Sekolah: “Pintar juga pak Paijo, ada musibah malah digunakan kesempatan untuk minta naik gaji.”
Langganan:
Postingan (Atom)